OMPITV.COM - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kini jadi sorotan usai ngasih sindiran pedas buat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait kritik soal pengiriman anak bermasalah ke barak militer.
KPAI sebelumnya mengungkapkan kekhawatiran soal potensi pelanggaran hak anak dalam program itu, khususnya soal kondisi dan proses seleksi anak yang dikirim. Nah, Dedi malah bilang kalau KPAI terlalu fokus urusan “tempat tidur” dan hal-hal kecil, tapi gak ngurusin solusi besar buat anak-anak bermasalah.
“Kalau KPAI sibuk terus ngurusin persoalan tempat tidur dan sejenisnya, tidak akan bisa menyelesaikan problem (anak yang bermasalah),” kata Dedi Mulyadi di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (19/5/2025).
Dedi malah ngajak KPAI buat turun langsung ke lapangan, terutama di Jawa Barat, biar bisa bareng-bareng cari solusi buat anak-anak remaja yang bermasalah. Ia menekankan bahwa akar masalah anak-anak ini bisa datang dari masalah keluarga, sekolah, bahkan berujung kriminalitas.
“Yang harus dilakukan KPAI-nya adalah mengambil langkah untuk menyelesaikan berbagai problem yang dialami oleh anak-anak remaja kita. Apakah itu karena problem di rumahnya, problem di sekolahnya yang akhirnya mengarah pada tindak kriminal,” ujar Dedi.
Program Barak Militer Jalan Terus, Ratusan Siswa Siap Ikut Pembinaan
Walau dapat sorotan, Dedi tetap melanjutkan program pembinaan anak di barak militer. Terdekat, 273 siswa akan menyelesaikan pelatihan di Dodik Bela Negara Rindam III Siliwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat pada Selasa (20/5/2025).
“Setelah itu nanti ada angkatan baru lagi. Kalau dari 1.000, 1.500, 2.000 sampai 5.000, kalau terkoneksi dengan kabupaten-kota mungkin 15 ribu sampai 20 ribu yang dikelola oleh kita,” ucap Dedi santai. “KPAI mau ambil berapa?” tanyanya.
KPAI Kritik Proses Seleksi dan Ancaman Tak Naik Kelas
Di sisi lain, Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, menyoroti bahwa anak-anak yang dikirim ke barak militer gak melalui proses asesmen psikolog profesional. Program ini katanya hanya pakai rekomendasi guru Bimbingan Konseling (BK). Parahnya, di beberapa sekolah SMP negeri di Purwakarta bahkan gak ada guru BK sama sekali.
“Program tidak ditentukan berdasarkan asesmen psikolog profesional, melainkan hanya rekomendasi guru BK,” kata Jasra dalam konferensi pers daring, Jumat (16/5/2025).
Jasra juga beberkan kalau ada pelajar yang merasa tertekan karena mendapat ancaman dari guru BK, yakni tidak naik kelas kalau menolak ikut program.
“Ada ancaman bahwa siswa yang menolak mengikuti program bisa tidak naik kelas. Ini hasil wawancara kita dengan anak-anak di Purwakarta maupun di Lembang,” ungkapnya.
Ketua KPAI: Potensi Pelanggaran Hak Anak Harus Diwaspadai
Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, menyatakan kekhawatirannya soal potensi pelanggaran hak anak. Ia menyoroti hilangnya referensi asesmen psikolog yang valid dalam proses pengiriman anak ke barak militer.
“Kami mengharapkan tidak terjadi pelanggaran hak anak ini, tetapi potensi mengarah ke situ ada, tadi hilangnya referensi asesmen yang jelas (dari psikolog),” ujar Ai.
Lebih mengkhawatirkan lagi, sekitar 6,7 persen anak yang dikirim ke barak militer tidak tahu alasan mereka dipilih untuk ikut program tersebut.
“Ada persentase anak 6,7 persen itu mengatakan tidak tahu kenapa ada di sini, artinya kan ada bentuk yang harus diimplementasikan secara optimal untuk menghindari potensi melanggar hak anak,” kata Ai.
Persoalan pengiriman anak bermasalah ke barak militer ini memang menuai pro dan kontra. Dedi Mulyadi memilih melanjutkan program pembinaan sebagai solusi nyata, sementara KPAI terus mengingatkan agar hak-hak anak tetap dilindungi dengan ketat, terutama soal seleksi dan perlakuan selama program.
0Comments